Tuesday 19 September 2017

Cerpen; Reinkarnasi

            

  Reinkarnasi

 

     'Bagaimana rasanya kematian?' tanya hati Anto saat menatap cermin. 'Mungkin dengan leher terjerat atau timah panas menembus kepala akan terasa begitu nikmat. Bukankah kematian adalah tiket yang kita beli untuk sebuah keabadian?'



    Terdengar suara pintu diketuk beberapa kali. Lelaki itu beranjak sambil membawa kunci, mempersilahkan masuk seorang wanita cantik dan seksi duduk di sofa, menawarinya minuman, dan melangkah menuju dapur.

    'Mungkin, dengan mulut berbusa karena racun tidak buruk,' bisiknya kembali, sambil memasukan sianida ke minuman.

    "Silahkan, Nay," ucap Anto tersenyum
sambil menyimpan gelas minuman di atas meja. Wanita itu mengangguk, menyongsong kematian yang tak disadarinya.

***

    Lemparan dadu terakhirnya sungguh buruk. Angka kembar satu dan satu membuat permainan ular tangga ini semakin kacau saja. Wanita itu tertawa kegirangan, mendapati nasib sial seorang musuhnya di meja makan.

    "Kau mimpi apa semalam, Mas? Uang di kantongmu akan segera berpindah tangan, ha ... ha ... ha ... dan jangan lupa, kita masih ada perjanjian lain."


   Bajingan cantik itu mulai membakar rokok di tangannya, memunguti dadu yang tadi Anto lempar. Mengocoknya dengan sabar, memprediksi berapa angka yang dibutuhkannya untuk mengakhiri permainan, juga kehidupan lelaki di depannya.

    "Tak perlu hujan tombak untuk menghabisi nyawamu kali ini. Cukup timah panas bersarang di dadamu dengan angka delapan!" Seringainya. Di mata Anto, wajah wanita di depannya  perlahan menjadi iblis, dengan asap keluar dari mulut dan hidungnya.

    Dadu dilempar, pelatuk pistol pun ditarik.

    Kini skor mereka sama satu-satu. Namun seperti pohon tua yang tumbang, lalu ditumbuhi jamur-jamur. Satu kehidupan lagi siap mereka jalani, membunuh atau dibunuh, kesepakatan yang telah  disetujui tanpa tanda tangan.


***
   Beberapa ratus tahun telah berlalu. Semenjak rumah di ujung gang kampung Pelangi ditemukan wanita yang meninggal karena diracun kekasihnya, tempat itu menjadi sarang setan-setan kecil menghitung receh setelah mencopet. Rumah itu kini berbau bacin, setelah tak ada seorang pun sanak saudara pihak lelaki atau perempuan  yang mau menempatinya.

   Belasan tahun berganti. Cerita seorang lelaki yang mati setelah ditembak oleh istrinya pun masa aktifnya telah habis di masyarakat.


   Takdir telah digariskan. Satu pembunuhan lagi direncanakan kedua pihak dengan sangat rapih. Ini adalah final yang pasti akan menegangkan bagi semua pihak.


   Jam telah menunjukan pukul sebelas lebih empat menit. Di depan Anto, Nayla telah berubah tak seperti dua kali pertemuan di masa lalu. Jangan tanya tentang dendam di antara mereka, karena sumbunya sebentar lagi akan habis dan segera meledak. Kematian tak dapat menghapus memori-memori itu di kepala mereka.


    "Seperti apa rasanya kematian, Nay?"


   "Sama seperti cemburu, Mas. Pertama bergolak di dada, perlahan naik melewati kerongkongan. Disusul mata berkunang-kunang, pandangan semakin samar. Dan pada akhirnya, aku tahu begitulah kesakitanmu melihatku bermesraan dengan orang lain."


   "Ha ... ha ... ha ... maafkan aku yang buta saat itu karena cemburu, Nay. Namun sekarang aku bersyukur pada Tuhan, kita bisa bertemu meski telah beberapa ratus tahun berpisah."

   "Yang seharusnya minta maaf itu aku, Mas, telah membuat perjanjian yang kalah main ular tangga harus mati, dengan timah panas menembus dada."

   "Itu sebenarnya salahku, Nay. Sudah tahu berjudi itu salah dan kau melarangnya, malah kuteruskan kebiasaan buruk itu. Hingga kita bertarung di meja makan, dan aku kalah oleh istriku sendiri ha ... ha ... ha ... biarlah hari ini kita menghapus dendam-dendam di masa lalu."

   Wanita di depan Anto tertawa, meski air mata ikut mengalir di pipinya. Jemarinya meremas lengan lelaki itu dengan lembut.

   "Kau lelaki terceroboh, aku wanita bodoh. Kita adalah pasangan gila di dunia."

   Dua orang anak buah Anto menghampiri. Belati yang digenggam salah satu dari mereka diarahkan ke tubuh Nayla, tapi sebelum itu terjadi, Lelaki gempal itu terlebih dahulu memeluk kekasihnya. Darah menetes dari punggungnya dengan deras.

   "Bukankah kematian adalah hak setiap mahluk bernyawa? Hanya saja, masih banyak manusia-manusia yang kehilangan kepasrahan seperti kita, mangambil keputusan berdasarkan nafsu yang tergesa-gesa. Oh iya, Nay, sampaikan salamku untuk keluargaku nanti. Ceritakan pada mereka riwayat lelaki ceroboh, yang mati karena ditusuk sekumpulan rindu, juga dendam yang tak kunjung padam, yang lahir karena melihat senyum seorang wanita jelita."

   Suara-suara terakhir yang Anto dengar adalah tangis seorang wanita, beberapa tembakan, juga teriakan.

Bandung Barat, 2017

No comments:

Post a Comment