Saturday 19 August 2017

Cerpen; Matamu bintang terang, bibirmu bulan sabit dan rambutmu gelombang laut pasang

  Matamu bintang terang, bibirmu bulan sabit dan rambutmu gelombang laut pasang

 
   Di matamu kuletakkan bintang, aku menemukannya saat bangku taman tengah menunggu pagi, dia bosan sendirian. Di antara daun-daun jambu, bintang yang jatuh itu bersinar, kelap kelip seperti lampu yang hampir mati. Kumasukan dalam plastik hitam agar sinarnya sedikit meredup, lalu menyimpannya ke dalam tas. Tak seorang pun melihatnya, lagi pula tak akan ada yang menyadarinya hilang, toh di langit bintang masih banyak. Lagi pula mereka pasti tak peduli, buktinya tak ada seorang pun yang menjaganya.

   Agar orang-orang yang masih melewati taman ini tak menganggapku gila, (aku tak berhenti tertawa sendiri, menyadari memiliki hal yang tak mungkin orang lain miliki. Bukankah mereka tak mungkin memiliki bintang seperti aku?) aku akan pergi ke pantai, mungkin di sana aku akan menemukan kata yang lain, kata yang pas untuk cerminan bidadariku. Sekalian untuk mengurangi rasa senang yang berlebihan, agar semua terkesan normal adanya.

   Kupacu motor dengan kecepatan standar, melewati jalanan berkelok yang bawahnya jurang, atasnya perkebunan teh. Pantai memang lumayan jauh dari kotaku, dan pergi sendirian merupakan sebuah kesenangan juga ketakutan tersendiri.

   Lampu-lampu jalanan sebagian telah mati, rumah penduduk pun hanya beberapa saja yang dibangun di pinggir jalan, hingga jalanan terkadang terasa sangat mencekam. Beberapa jalanan bolong juga semakin membuat kehati-hatian perlu ditingkatkan. Pembangunan tempat ini hanyalah omong kosong yang dikemas dengan kata-kata meyakinkan di bibir para calon pejabat yang telah dibaluri banyak gula. Seribu kemustahilan tercipta dari mimpi-mimpi gila, yang keluar dari mulut berbusa nan berbisa.

   Debur ombak, embus angin dan wangi khas pantai menyambutku, malam masih kelam, bulan sabit pun tersenyum kepadaku. Terpikir ide jahil untuk menjatuhkannya dari langit sana. Setelah memarkirkan motor, kuambil sebilah bambu, kusodok-sodok bulan hingga terjatuh di sisi pantai. Aku tertawa semakin keras, lalu berlari menerjang ombak agar bulan tak terbawa hingga ke tengah lautan. Meski beberapa kali terjatuh hingga  kuyup dan mataku perih terkena air laut, tak mengapa, toh bulan sabit ini bisa menjadi senyum bidadari yang aku impikan.

   Pasir-pasir pantai memasuki sela-sela rambut, meskipun telah kubilas dengan air tawar di masjid terdekat. Mereka seolah tak pernah habis, mungkin tersesat di kepalaku, atau juga memilih tinggal di sana, mmm entahlah.

   Dan gelombang ombak akhirnya kupilih sebagai rambutmu, masih terdengar riaknya saat kuselipkan di antara halaman buku. Langit kini tak memiliki bulan, satu bintang pun hilang dan laut, tak terdengar lagi deburnya. Sedangkan aku tertawa-tawa, menyaksikan bidadari lamunan tumbuh dari
buku. buku yang kutulis dengan penuh keharuan.

   Aku terbangun dengan tubuh kuyup di atas ranjang. Merasakan pasir-pasir putih di kepala. Mengingat lagi sinar matamu yang bening, pada malam hening. Embus angin menyeret mimpi-mimpi yang hilang bersama kenyataan yang tak hangat. Kini aku termenung, menyaksikan subuh masih menggigil dari bingkai jendela.

   Di depan sana, kulihat seorang gadis tengah melipat sayap, lalu berjalan menuju rumahku. Mirip seperti bidadari yang kuimpikan.

Bandung Barat, 19/08/2017





No comments:

Post a Comment